Beranda | Artikel
Bertawakal Ketika Beribadah
22 jam lalu

Bertawakal Ketika Beribadah merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Washaya wa Taujihat Fi Fiqhi at-Ta’abbud Li Rabbi al-Bariyyat. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 18 Shafar 1447 H / 12 Agustus 2025 M.

Kajian Tentang Bertawakal Ketika Beribadah

Pada poin ini, beliau menekankan pentingnya bagi seorang hamba untuk senantiasa bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala dalam setiap ibadah. Para nabi dan orang-orang shalih terdahulu selalu menggantungkan hati mereka hanya kepada Allah, baik pada tahap persiapan, pelaksanaan, maupun pasca ibadah. Mereka berlepas diri dari segala daya dan kekuatan selain daya dan kekuatan Allah semata.

Hati mereka senantiasa terkait dengan takdir Allah. Mereka memikirkan السَّوَابِق (catatan takdir mereka di sisi Allah), sebagian lain memperhatikan الخَاتِمَة (akhir kehidupan mereka).

Telah dijelaskan perbedaan antara kaum abrar (orang-orang baik) dan kaum muqarrabin (orang-orang yang didekatkan). Kaum muqarrabin memiliki derajat lebih tinggi di sisi Allah. Orang-orang abrar berada satu tingkat di bawahnya. Yang membedakan keduanya adalah perhatian terhadap takdir dan khatimah.

Para ulama menyebutkan bahwa hati kaum muqarrabin senantiasa bergantung pada takdir mereka. Mereka selalu memikirkan, “Apakah takdirku bahagia atau sengsara? Apakah aku termasuk penghuni surga atau neraka?” Pertanyaan ini menjadi perhatian harian mereka.

Kekhawatiran akan masa depan ini membuat mereka senantiasa bertawakal kepada Allah dan tidak pernah merasa aman dari kemungkinan tergelincir di tengah jalan, perubahan setelah berislam, atau bahkan murtad setelah beriman.

Penulis menjelas bahwa perasaan seperti ini—merasa selalu membutuhkan taufik Allah dalam setiap detik kehidupan, bahkan dalam setiap tarikan dan hembusan napas—menjadi sebab keselamatan mereka. Ketika mereka lalai -merasa aman, atau tidak membutuhkan Allah, saat itulah singgasana iman mereka runtuh.

Orang-orang yang selalu merasa membutuhkan taufik kepada Allah dalam setiap tarikan nafas dan tidak mau bergantung kepada siapa pun selain Allah, bahkan tidak untuk sekejap mata, mereka telah menyempurnakan penghambaan kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Hal ini menunjukkan bahwa mereka benar-benar membutuhkan-Nya. Mereka menyadari kelemahan dan kerdilnya diri di hadapan Allah, sehingga harus senantiasa bergantung kepada-Nya agar selamat.

Penulis menegaskan di akhir pembahasan bahwa siapa pun yang telah mencapai tingkat ini akan dapat menyaksikan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta‘ala memberi taufik kepada sebagian hamba, sementara pada saat yang sama merendahkan sebagian yang lain. Allah memberikan taufik kepada hamba-hamba yang senantiasa bergantung kepada-Nya, merasa lemah, kerdil, terus mengiba, dan menghamba. Maka kemudian Allah menolong, menyelamatkan, serta memberikan taufik kepada mereka.

Sebaliknya, mereka yang tidak merasa lemah, merasa kuat, dan merasa aman dari kesesatan justru dijatuhkan dan dihinakan oleh Allah.

Jika seseorang sudah sampai pada tingkatan yang tadi disebutkan, ia juga akan mampu menyaksikan rububiyah Allah dan kekuasaan-Nya atas hamba-hamba-Nya. Maka seseorang akan banyak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala seperti doa orang yang berada dalam kondisi darurat. Bayangkan seseorang berada di tengah gurun tanpa makanan dan minuman, yang jika tidak mendapat pertolongan pada hari itu, ia akan mati. Ia akan berdoa dengan penuh kekhusyukan, memohon kepada Allah agar dimudahkan memperoleh seteguk air atau sekerat daging kering untuk mengisi perutnya dan memberinya sedikit tenaga agar dapat berjalan lagi melanjutkan hidup.

Demikian pula, ketika menyadari kebutuhan yang tidak pernah habis kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala, seseorang akan terdorong untuk banyak berdoa kepada-Nya seperti doa orang yang berada dalam keadaan darurat. Ia akan memohon perlindungan dari kegagalan dan kehinaan yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Sebagaimana orang yang lemah selalu meminta perlindungan, ia akan senantiasa mengulang permohonannya, menghiba, merendahkan diri, dan mengakui kelemahannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Posisi yang merendahkan diri, menunjukkan kelemahan, dan mengeluhkan kekerdilan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta‘ala justru merupakan keadaan yang dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan hubungan antarsesama makhluk; ketika seseorang merendahkan diri di hadapan mereka, terlalu sering meminta pertolongan, atau banyak menghiba, hal itu akan menjatuhkan wibawa dan meruntuhkan martabat di mata mereka.

Download mp3 Kajian Bertawakal Ketika Beribadah


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55460-bertawakal-ketika-beribadah/